Hanya ingin bilang: Aku tak tahu!
Aku tak tahu,
Memang itu yang ku rasa. Semua orang punya kepentingan dan keperluannya tersendiri. Punya tujuan dan kriteria pilihannya tersendiri. Tinggal bagaimana eksekusi perwujudannya yang kelak akan menentukan baik buruk jalannya yang tersendiri.
Aku tak tahu,
Sebagaimana ia berkata: "you don't know about us!" ; Kemudian aku pun menjawab: "you'll never know me either!" ;
Aku tak tahu,
Dengan brutalnya, ia kerap merasa paling tahu segalanya, ia akan membantah setiap sudut pandang orang lain, ia meyakini bahwa ia sudah sempurna, ia tak peduli yang lain, walau hanya sekedar menanggapi keluhan kebingungan dari sekitaran pun ogah. Bahkan ketika masukan itu sebetulnya adalah 'blind spots' yang luput dari pantauannya. Ia tak mau ambil tahu pada hal yang semacam itu.
Aku tak tahu,
Ia memprovokasi soal transparasi dan keterbukaan, tambah pula dengan kebebasan, namun ironisnya ia malah menutupi ketimpangan diri sendiri. Ia tidak menghendaki gangguan dalam bentuk apapun. And then? What! Seolah dibalik itu ia ingin mengukuhkan, kegaduhan adalah goal-nya. Bantahlah, silakan. Memang hanya itu citra caranya.
Aku tak tahu,
Ia terkesan tulus berbalut kasih, tapi belakangan nampak bahwa ia ada karena membawa motif ego. Seonggok harap dengan wewangi fulus yang mendorongnya berkelaku begitu. Ia membela yang tertentu bukan karena ia peduli, tetapi justru karena ia enggan peduli. Sebabnya, ia sudah terlanjur.
Aku tak tahu,
Terlihat pergerakan di sana-sini. Kabur buram pada awalnya, lalu kini, sedikit demi sedikit mulai ada bentuknya. Terpancar sinar aslinya dibalik topeng berkilau itu, terkekeh di meja beton yang penuh dengan dokumen inti, tertata rapi namun panas, hingga jarang tersentuh. Ya. Seperti itu lazimnya.
Aku tak tahu,
Tentu kita tak ingin bertingkah kekanakan seperti para buzzer dan pasukan maya alay itu kan. Nasi, itulah password utamanya. Basi, baginya tak penting. Terpecah, ada Kaum ini, ada Kaum itu. Yang tidak sealiran wajib di-block dan di-bully selamanya. Kerahkan geng, boikot musuh, itulah prestasi, rayakan, deklarasi diri sebagai yang paling benar.
Aku tak tahu,
Sesumbar itu biasa, katanya. Asalkan dapat menjatuhkan dan menghancurkan siapa saja yang menolak ikut. Bila tak setuju, berarti (semua) bigot. Hancurkan. Korek identitas asli dan status post meski private, lalu sebarkan, ayo tertawai dan hujat beramai-ramai. Hanya itulah cara terkeren untuk bertempur. Pemberani ya itu. Ribut, kesukaannya. Begitu? Perusak keindahan internet dan jalanan sejati, polusi.
Aku tak tahu,
Ia tak mampu mencari kegiatan bermanfaat tanpa mengusili kegiatan orang lain. Kreatif adalah ketika berhasil membongkar kehidupan orang lain. Bila perlu, segala macam bot dan spam pun dijadikan bahan olokan. Saking modern dan majunya dunia ini. Bersikeras bahwa itu tak masalah, itu justru gaul. Kalau terus tambahi dengan bumbu kadaluarsa tak beguna, akan lebih bagus. Itu keinginannya.
Aku tak tahu,
Baginya, sebodo amat bila korban menanggung malu, salah sendiri mulutnya tak dijaga, jarinya liar. Sekarang rasakan, hanya yang sepemikiran saja yang boleh ngoceh. Akhirnya, yang penting kubu sendiri tetap jaya. Setidaknya naik peringkat menjadi bergengsi.
Aku tak tahu,
Ia bilang bahwa perempuan perfeksionis dan angkuh akan dibenci banyak orang. Akan sulit punya relasi. Bakal gagal. Jauh dari ladang bisnis. Apalagi kalau ternyata umurnya pun tua, ke laut aja. Begitu ungkapan rutinnya. Namun, anehnya, disaat yang sama ia bilang bahwa cuma orang goblok yang akan mudah membenci dan menebar kebencian.
Aku tak tahu,
Ia menghakimi sesuatu sebagai hatred hanya apabila ia tidak setuju, baik itu pada pihak-pihaknya ataupun pada segala tentangnya. Tanpa merenungi dua kali, ia akan mengutuknya. Tetapi jika pihak dan isinya sesuai dengan keinginannya, maka apapun itu bentuknya, pasti bukanlah kebencian. Dukung. Meskipun ketus menyakitkan dan penuh kejanggalan, ia akan tetap bersorak-sorai memujinya.
Aku tak tahu,
Ia membentuk parameter, mana yang mesti diangkat, mana yang mesti dijatuhkan. Tanpa menyesuaikan keadaan dan perkembangan sekitaran yang terdekat. Super unfair comparison, menjadi senjata pembodohan massal darinya.
Aku tak tahu,
Buah pikiran orang lain dicatut, lalu ia tunjuk orang pilihannya sebagai perantara penyampainya. Pemilik pemikiran asli terpuruk, akibat dicerca sebagai pencuri gagasan. Massa percaya bahwa yang besar itu lah yang lebih benar, sedangkan pemilik sebenar yang sedang merintis dianggap perusuh. Kejam.
Aku tak tahu,
Sehebat dan sebesar apapun talentamu, tak akan ada pengaruhnya. Jika kau tidak muda dalam angka yang sesuai dengan limitnya, niscaya karyamu tidaklah WOW untuk dibanggakan, kau akan berakhir di sudut gelap markasnya. Sama juga, jika kau masih muda atau sudah dewasa dan mempunyai karya yang sesuai keinginannya, tetapi kau enggan menuruti aturan main darinya, pun kau tak akan mendapat tempat baginya. Kau akan tersisih dengan mudahnya. Begitu prinsipnya. Ia memang penyesat.
Aku tak tahu,
Ia lebih sering fokus pada harga/nilai/nominal dan hartanya. Menyanjungnya atas kesuksesan meraih materi, bukan semata oleh perjuangan berkaryanya. (Jika demikian, sudah semestinya lah kaya-miskin itu jadi relatif.)
Aku tak tahu,
Promo 'agak maksa' begitu sebetulnya tidak salah, mungkin hanya kelewatan payah saja. Prestasi dan karya menakjubkan dari sang seniman/seniwati tersebut jadi tertutupi. Seolah tempat itu dibayar hanya untuk menampilkan yang punya uang. Karya berguna lain dari figur lainnya diacuhkan. Fairness? Nonsense baginya.
Aku tak tahu,
Terpercaya? Walau masih banyak fake info dan narasi lebay disetiap sudutnya. Tanggung jawab? Mudah berlindung dibalik "kertas" kesayangannya. Smart? Maybe. Jika ada awam yang terganggu? Derita lo, jawabnya. Kemudian ia ketawa, terbahak melihat kegalauan. Berhasil, teriaknya.
Aku tak tahu,
Untuk saat ini cukup itu dulu omelan ketidaktahuan dariku, kapan-kapan kita sambung lagi.
Sekali lagi: Aku memang tak tahu.
Tambah sedikit lagi; "So you think you really know [much] about people(?)";
---------
Ada bisik-bisik:
Jika memang punya maksud baik dan mendukung kebaikan, haruslah menjadi aktif bela khusus. Jika tidak mau, berarti bukan supporter, bukan rekan, atau bahkan bukan saudara. Artinya pengkhianat.
Sebab, di era iptek ini, menjadi partisan maupun simpatisan itu sebuah kewajiban, demi kebenaran, sekalian meraih ukuran kehebatan diri.
Fanatik atau tidak, itu urusan belakang, yang penting pastisipasi dan eksis membela secara nyata. Dapat juga menjadi jalan instant yang efektif untuk menjadi terkenal.
Nah, itu, barulah bisa diakui sebagai pejuang. Kalau cuma vote/nyoblos, terus hanya dukung dengan cara menjadi rakyat biasa dan alakadarnya, itu kuno.
Tanggapanku,
Ada bisik-bisik:
Jika memang punya maksud baik dan mendukung kebaikan, haruslah menjadi aktif bela khusus. Jika tidak mau, berarti bukan supporter, bukan rekan, atau bahkan bukan saudara. Artinya pengkhianat.
Sebab, di era iptek ini, menjadi partisan maupun simpatisan itu sebuah kewajiban, demi kebenaran, sekalian meraih ukuran kehebatan diri.
Fanatik atau tidak, itu urusan belakang, yang penting pastisipasi dan eksis membela secara nyata. Dapat juga menjadi jalan instant yang efektif untuk menjadi terkenal.
Nah, itu, barulah bisa diakui sebagai pejuang. Kalau cuma vote/nyoblos, terus hanya dukung dengan cara menjadi rakyat biasa dan alakadarnya, itu kuno.
Tanggapanku,
That sounds like whaaaat, a lil bit funny. Karena, aku tak tahu apa-apa.
Entahlah.
Entahlah.
^^
------
Last,
Jangan marah, ini kan soal Freedom of Expression + Aku Tak Tahu. IDK. And i don't wanna know, anymore!
Peace is the best point here.
^_^
*Endingnya: So It's all my faults? Because i am bad, crazy, stupid, ugly? Yea?
Ok, I'm Sorry and Thanks!
*Endingnya: So It's all my faults? Because i am bad, crazy, stupid, ugly? Yea?
Ok, I'm Sorry and Thanks!
Thanks For Stopin' By My Blog
Kategori:
Prosa-Puisiku