Menyesal atau Pasrah?
Dia yang merendahkan tingginya asaku
Dia yang menudingkan julukan rendahan itu kepadaku
Dia yang menuduhku menyulut api pada kobaran itu
Dia yang menganggapku sebagai puak keonaran itu
Dia yang menginjak kado bantuan kirimanku untuknya
Dia yang mengucilkan kehadiranku dikejauhannya
Dia yang berpedoman pada karakteristik dan aktivitas rambang
Dia yang ingin menciduk menggugat dan mengaggapku sebagai penyerang
Dia yang ahhhh.......!
Dia pikir aku tengah menerornya!
Dia jahat!
Dia tega!
Dia pahit!
Ketuk selfie hitam
Sebar kegiatan dalam
Jual arsip kelam
Beli alat mendekam
Tangkap ekspresinya
Tangkap bola matanya
Tangkap gerakannya
Tangkap layarnya
Tangkap ketikannya
Tangkap sentuhannya
Tangkap suaranya
Tangkap perbincangannya
Tangkap sekitarannya
Rekam aksi
Bongkar reaksi
Depak konsekuensi
Rayakan konklusi
Debat adalah pahala
Konflik adalah berhala
Nodai kepercayaan semula
Hindar pembalasan berkala
Lantas apa?
Ke mana kebijaksanaanya?
Bukankah dia punya daya untuk menelaah ketimbang menduga?
Lacak lokasi yang telah tersembunyi
Kerahkan tenaga demi mencari dan mencaci
Berkata pada awan itulah yang dipinta dan dimatai
Hancur lebur masa lalu melusuhkan materai akibat tercuci
Hilang sudah keyakinan ini terhadapnya,
Meski aku masih sangat mengaguminya!
Respect - Disrespect
Sang raja membagi pundak dengan menteri dan para pengawal
Menteri mengemban amanat dengan tenaga kuda sebagai penyalur
Jelata menyerahkan upeti dengan barter janji demi kemakmuran
Sayangnya;
Penyambar membuyar terumbar kasar
Ada khianat di balik selimut berwarna cerah berkain lapuk
Pandora terlanjur menganga tak dapat dicegah
Bisingnya tajam menyalak galak melolong kosong
Fatamorgana baginya riil sambil berlutut memanggil neraka
Representasi atau Refleksi?
Yang pasti, mereka pantang di tegur, dengan cara bagaimana pun, sebaiknya JANGAN!
Ya. Kata orang;
Cinta buta akut akan fanatik lalu kusut bersimpul bigotnya berlipan
Bigot tak mengenal makna toleransi dan juga pengertian
Klaim toleran malah tak mengerti definisi keterbatasan
Yang terbatas tak mau menumbuhkembangkan sisi lanjutan
Paksa berkembang tanpa berputik
Menyangkal putik sebelum berbuah tolak berbunga
Tanah penuh bunga berganti ranting berakhir humus
Hukum apa itu namanya?
Mungkin.. Bigot teriak Bigot?
Lagi-lagi, sepertinya percuma;
Percuma kau menjadi diri sendiri
Kau akan tetap dianggap salah oleh mereka
Sebab mereka ingin kau menjadi seperti yang mereka mau
Percuma kau meyakini kemampuan diri sendiri
Kau akan tetap dianggap salah oleh mereka
Sebab mereka ingin kemampuanmu bergantung hanya pada mereka
Percuma, ya, percuma
Entah apa lagi yang percuma
Semua jelek dimata mereka
Entah apa yang dapat membuka mata mereka
Kala penggempur menangkap audiens yang telah frustasi
Tersenyum basi singkirkan sangsi dan juga sanksi
Noktah jiwa lumpuh merangkak ke puncak getirnya sensasi
Taburan debu kehidupan telah menggunung riskan membusa
Tak ada jalan pelarian bagi pendosa tanpa kuasa
Terbata mengemis ampun sampai tersungkur penuh nestapa
Terhina oleh kejamnya pendakian sesat para pemurka
Gonjang-ganjing dunia tanpa hatinya melabrak fungsi jati diri
Jari jemari lentik kini sendu hilang esensi tanpa substansi
Kelingking berfungsi untuk mengutil upil kutil diumpankan
Telunjuk berfungsi untuk mencungkil dan menudingkan
Jempol berfungsi untuk menekan kalimat tertekan
Si tengah berfungsi untuk meremehkan dan menjatuhkan
Yang manis befungsi untuk diam melugu ala pemanis bajakan
Tangan panas siap menampar hingga terhamparkan
Terbentur halusinasi berjejer ilusi demi menandingkan
Badut-badut semu mulai kesemutan
Menggeser lantai melebarkan papan
Menjebloskan gincu lawan yang dulunya kawan
Merungut menantang tanpa kesiapan
Menyiarkan kegelapan ditepi dipan
Biarkan
Terlajur berada dihadapan
Hadapi saja sekalian
Dengan perlahan
Mulailah berlari kecil lalu besar sambil terus berjalan
Penuh kelegaan
Semoga bisa aman
Lari, menjauhlah!
Benar adanya bahwa aku pernah tertantang olehnya. Ya, tantangan, kata mengambang penakluk nalar.
Truth or Dare or Both or Vanish. Mungkin seperti itu yang terkandung didalam lubang vacum menyesakkan buatannya. Tombol kendali jarak jauh siap menerkam kedunguan pemuja polos macam diriku.
Bak guna-guna sihir hitam, aku terhipnotis untuk selalu menuruti telunjuknya. Terpampang terma, larangan, anjuran, maupun hukuman bagi yang sadar tak sadar.
Bermufakat membentuk tanda panah satu arah tanpa pilihan menuju persimpangan. Lempar dan bingkai pandangan agar tercapai penjajahan dan membentuk koloni samaran.
Hanya dengan sedikit trik, mampu memanfaatkan lemahnya pertahanan pemilik raga. Seluruh mangsa dianggap bermental budak yang gampangan dan mudah ditindak.
Disodorkannya kefanaan melalui lampu sorot jauh miliknya. Sekilas terkesan menerangi, namun pada realitasnya itu sangat menyilaukan, bisa saja justru berbalik mengirimkan petaka.
Diteruskannya tanpa mendengarkan. Konsisten menggodaku dengan iming-iming megah, itu andalannya.
Dimulai dari deretan daftar panduan serupa penggunaan obat keras, sampailah jejalan beribu alinea musabab kegagalan, kerusuhan, kemalasan, kebodohan. Kemudian diakhirinya dengan solusi membangkitkan kembali semangat para korbannya sendiri. Maka, menjelmalah dirinya sebagai penyelamat.
Dunia terpana, mengalirinya dengan decak kagum, tanpa mengetahui bahwa itu semua skenario kejam bentukannya. Hampir tak ada fakta, kenyataan, dan jua alamiahnya. Kalau tampak ada, itulah delusi tujuan terselubungnya.
"Diam!" Hardiknya.
Ah. Betul juga. Siapa peduli, ini perkara krusial di titik saripati, kalau masih mau hidup hingga nanti, ya memang harus terus ikuti, tak boleh berhenti. Begitulah gol utamanya.
Okay. Aku akur.
Tepatnya; Ku wajib (terpaksa) mendamaikan diri sendiri, supaya aku dapat terus bergaul dengan kepentingannya yang menggemparkan itu. Demi kegilaan ego yang telah merasukiku. Aku akan turut ikut.
Namun..
Aku mendengar bisikan satunya, mengajakku berdialog:
"Hey, kau menginginkannya kan? Tunggu apa lagi, curi harta itu, bawa pergi, mumpung tak ada yang melihat. Lakukan perlahan, serapih dan sehalus mungkin. Mereka tidak akan menyadari aksimu ini. Kau akan menang." Tegurnya padaku.
"Yang benar saja, kenapa harus itu jalannya? .. Aku....tak enak hati, sebab.... itu bukan diriku. Aku tak bisa." Jawabku.
"Jangan terlalu lugu, nona. Kau tak akan bisa memilikinya jika kau tidak mencurinya. Kau pikir mereka cukup berhati untuk dapat memahami segala keluhan polosmu selama ini? Tidak akan. Maka curilah, itu cara terbaik kalau kau ingin membalas kesialan buatan mereka." Terangnya sambil terkekeh penuh makna.
"Apa kamu yakin tak akan ada yang menangkapku nantinya? Ku lihat banyak perekam di setiap sudutnya. Aku takut. Selama ini aku ikhlas meski perih. Aku percaya hukum klasik. Setidaknya ada sebab-akibat yang kadang memang buram, namun tetap datang. Jadi, aku...tak mau....." Jawabku masih dengan nada bimbang
"Sampai kapan kau mesti manggut? Ketika kau bersedih dan remuk oleh kerasnya kesabaranmu sendiri, apa kau kira mereka akan menolongmu? Mimpi di siang bolong, nonsense, tak mungkin!" Ketusnya.
"Hhuufh. Kamu lupa ya, mereka punya sejuta cara miring. Bukan hal sulit bagi mereka untuk sewaktu-waktu membenamkanku ke arus kotor, aku hanya serangga mini bagi mereka. Mana bisa aku membalas kesakitan yang mereka perbuat padaku itu. Aku tak sanggup. Bahkan "master kiddie" pun tak mungkin nekat mengguncang mereka." Elakku
"Berhentilah meragu diri. Aku tahu sesungguhnya kau sudah punya banyak pemahaman tentang seluk-beluk labirin rumit yang telah kau tapaki itu. Jangan bilang itu hanya pengisi waktu luang tak bergunamu, justru sebaliknya bahwa itulah potensi oportunity. Sekadar melewati perekam dungu begitu pasti gampang bagimu, kan? Sadarlah!" Sergapnya terus menghasut,
"Mungkin... ........ ... ..... .... aaahh, aku tetap tak mengerti apa-apa soal kehebatan serupa itu. Sama sekali tidak. Aku tak tahu. Mereka yang seolah terus menuduhku melakukannya, padahal aku tak paham." keluhku
"Jangan begitu. Coba ingat lagi segala tudingan, tuduhan, kambing hitam-an, sampai nyinyiran dan kesalahpahaman mereka terhadapmu selama ini. Apa kau masih sanggup bertahan?" Bebernya lagi.
"Aduh, mereka juga punya kamus khusus jika ada yang protes atau merasa kurang adil. Kita akan selalu dianggap iri, atau, 'envy' .. Ujungnya ya mereka akan terus menyudutkan dengan perkara pribadi. Bayangkan, tambah menyebalkan, bukan?"
"Come on. Katakanlah kita pernah menyakiti atau memburukkan atau bahkan yang agak ekstrem pernah tak sengaja 'melubangi', tetapi, nantinya pasti akan ada 'hal yang sama buruk' datang menghampiri kita. Sedikit atau banyak tetap 'kan terasa, jika kita masih punya nurani. Pabila itu membuat kita sadar dan kapok, tidak mengulanginya, kemudian kita 'gantikan kejelekan' itu dengan tekad untuk terus memberi dan berbagi, atau mungkin tanpa pamrih. Masa' mereka masih terus menghina? Coba kau kesal sedikit lah!" Cecarnya.
"Sungguh aku kesal, sangat, terlebih ketika mereka mengirimkan bara busuk itu tepat ke jantung tenangku. Sejak itu aku langsung 'gila' karenanya. Tapi, saling tunjuk dan bertekak itu melelahkan, jadinya aku saja yang mundur. Aman buat semua. Mau apa lagi?" Keluhku
"Pikirkan, apa hak mereka terus-terusan berlebihan menginjak orang lain? Merasa paling suci? Apakah 'aib' kita tersebut lebih besar dibandingkan dengan ketamakan dan keserakahan para idola yang mereka 'bela dan lundungi' itu? Setia mendukung dengan cara menghina yang lain? Begitu yang bagusnya menurut mereka?" Katanya, masih dengan melotot ngotot.
"Mana aku tahu. Itu kan prinsip mereka. Kalau kita mah bukan siapa-siapa. Sebab itulah aku malas ikut campur terlalu jauh. Tambah lagi, jika sudah merasa terusik secara dalaman, aku tak berkutik. Nyeri hati sulit terobati." Pasrahku
"Bangunlah, mereka tak akan berhenti mengolokmu sampai mereka merasa cukup. Dan kau tahu, manusia labil seperti mereka tak akan pernah merasa 'puas' .. Kau harus memberi 'pelajaran' yang setimpal kepada mereka." Celotehnya lagi.
"Jujur, ku akui bahwa terkadang aku ingin!! Di satu sisi aku memang enggan buang waktu memikirkan apapun soal mereka-mereka itu. Di sisi lain, ya, kamu ada benarnya juga, para 'penghukum jadi-jadian' itu tidak semestinya diberi peluang lagi, cukuplah sudah mereka meraih kegirangan pasca berbuat lancang kemarin-kemarin. Seenaknya saja. Suka bikin malu orang lain namun anti dipermalukan. Geram rasanya. Tapi...."
"Tapi apa? Masih takut?" Tebaknya.
"Ya, lebih baik anggap saja aku takut, atau bodoh. Terserah. Kita sudahi saja pembicaraan ini. Bila diteruskan, nanti mereka malah bilang aku sok hebat atau superior angkuh. Aku capek plus bingung, haha. Mari stop saja. Ya?" Tutupku.
.... .... ...... ...... ......... ........... .. ... .Tak ada sahutan lanjutan darinya. Itu maknanya, percakapan ini selesai.
Wokeh, itu dia, lagi-lagi omelan tak jelas nan abu-abu saya. Udah dulu yaa Dears. Tiba-tiba buntu. Harap maklum. Newbie. :D
Have a nice day. Enjoy our online/offline life as positive as possible.
Slowly boleh, asalkan pasti dan pantang menyerah. Tancap gas pun boleh, asalkan tahan benturan keras yang lebih keras dari apah gituh. #Eh
^^
Thanks For Stopin' By My Blog
Kategori:
Fotografi,
Prosa-Puisiku